TEMPO.CO, Jakarta - Banjir memang tak pilih kasih. Rumah novelis NH Dini di kompleks Padana Merdeka, Semarang, juga dihajar. Akibatnya, ia mengungsi di rumah kakaknya, di Kampung Sekayu, Semarang.
Baca juga: Mengenal Kremasi Seperti yang Dipilih Mendiang NH Dini
Kisah yang ditulis pada Majalah TEMPO Edisi 13 Februari 1993, ini menceritakan kejadian saat sastrawan senior bernama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin ini masih berusia 57 tahun.
''Saya ngeri. Saya tak berani menempati rumah itu lagi,'' kata Dini, saat itu. Hujan yang mengguyur lebat, Jumat malam dua pekan sebelumnya, membuat sungai di samping rumahnya meluap. Esoknya, lantai rumahnya sudah retak tiga meter.
Malam berikutnya, hujan turun lebih deras lagi. Dini betul-betul dicekam kengerian. Ia tak bisa tidur. Tiba-tiba, pukul satu dinihari, rumahnya bergetar. Dini keluar rumah. ''Ya, Tuhan, di tengah hujan deras itu ada pemandangan yang mengerikan,'' katanya.
Lantai teras rumahnya sepanjang tujuh meter hanyut. Pagar rumah bersama tanamannya ambrol ke jurang. Bahkan pintu gerbang dari besi bisa hanyut sejauh 50 meter. Yang lebih ngeri lagi, fondasi depan rumahnya menggantung setinggi 1,5 meter. Padahal, rencananya, rumah sekaligus pondok bacaan anakanak seharga Rp 35 juta itu akan ditempati sampai akhir hayatnya.
''Setelah saya mati, rumah dan pondok baca itu akan saya hibahkan ke masyarakat,'' kata Dini, yang tinggal sendirian. Di tengah musibah itu, Dini sedikit terhibur atas datangnya Mochtar Lubis. ''Saya dikasih uang Rp 100 ribu oleh Bang Mochtar,'' kata novelis yang April 1993 akan melempar novel barunya Tirai Menurun ini.
Selasa petang, 4 Desember 2018, seperti diberitakan TEMPO.CO, NH Dini meninggal akibat kecelakaan lalulintas. Ibunda dari sutradara film Minions, Pierre Coffin, itu kemudian dibawa ke Rumah Sakit Elisabeth, Semarang. Kabar itu disampaikan Kepala Bagian Humas rumah sakit Elisabeth Semarang, Probowatie Tjondronegoro, saat dihubungi Selasa petang.
EDI FAISOL | MAJALAH TEMPO